Detail Budaya & Sejarah

PUNDEN DONOWATI
Jenis Budaya: PUNDEN
Kampung Donowati, Sukomanunggal memiliki dua punden atau tempat yang dikeramatkan dan disakralkan oleh masyarakat.
Mengingat lokasi punden yang berada di barat dan timur, maka dinamakanlah sebagai Punden Kulon (barat) Donowati dan Punden Wetan (timur) Donowati.
Punden Kulon Donowati beralamat di Donowati 2/47, sedangkan Punden Wetan Donowati berada di Sukomanunggal nomor 43 Surabaya.
Pengurus Paguyuban Pelestari Kebudayaan Donowati (PPKD), Yunus Asril mengatakan, kampung Donowati dulunya berbentuk pedukuhan.
Berdasarkan cerita dari sesepuh kampung baik yang sudah meninggal maupun masih hidup, ujar Yunus, Punden Kulon Donowati dulunya bukan berbentuk makam, melainkan gundukan tanah yang dipercaya sebagai tempat “mbahnya” atau pembabat alas Donowati.
Di Punden Kulon Donowati terdapat dua makam yang nisannya bertuliskan Mbah Ambarsari dan Mbah Ambarwati.
Sementara itu, Punden Wetan Donowati yang bersebelahan dengan masjid milik warga setempat yang dulunya langgar dan diperkirakan usianya kurang lebih 100 tahun ini dulunya memang terdapat beberapa makam kuno yang kini sudah tertimbun dan menyisakan dua makam, yakni Mbah Lesmono dan Mbah Siti Sendari.
“Diperkirakan keberadaan punden lebih tua dari usia langgar yang diperkirakan kurang lebih 100 tahun,” kata Yunus.
“Punden Donowati ini dikenal dengan banyak nama, mulai dari Mbah Ambarsari, Mbah Ambarwati, Mbah Lesmono, Mbah Siti Sendari, hingga Mbah Sawunggaling. Sebenarnya itu mungkin dijadikan simbolis saja sama orang-orang dulu. Sebenarnya ini hanya petilasan saja. Dan lima nama ini, menjadi satu kesatuan yang harus disebut, baik di Punden Kulon maupun di Punden Wetan,” sambungnya.
Ia mengatakan, lantaran di sakralkan, dulu masyarakat setempat yang akan menggelar hajatan pasti datang atau sowan ke Punden Kulon maupun Punden Wetan Donowati. Jika tidak, mereka percaya akan terjadi suatu hal yang dapat mengganggu keberlangsungan acara.
Tak hanya itu, sebagian warga juga akan mengadakan ‘bancakan’ apabila permintaannya terpenuhi. Dimana bancakan tersebut sebagai bentuk ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan leluhur kampung tersebut.
“Sampai sekarang masih ada yang percaya hal tersebut, tapi karena sudah tergerus zaman jadi ya sekarang susah ke punden,” katanya.
Maka dari itu, dirinya menggandeng para generasi muda Donowati, melalui Karang Taruna RW 1 “Bhakti Bhumi” Donowati untuk terus menjaga dan merawat punden. Salah satunya pada saat tegal deso dan peringatan malam satu Suro, ia melibatkan Karang Taruna di dalamnya. Bahkan pada saat rapat pertemuan atau sekadar berkumpul, punden Donowati dijadikan tempat jujugan mereka.
Yunus menambahkan, untuk menarik minat masyarakat setempat khususnya generasi muda berkunjung ke punden, ia memanfaatkan halaman Punden Kulon Donowati dengan menanam tanaman asli Indonesia yang saat ini sudah jarang di temui, seperti gayam, juwet, buni, kopi anjing, bringin, kesambi, kesemek, kecapi, kinco, dan tanaman lainnya.
Lalu juga ada tanaman obat, sayur-sayuran, dan hidroponik. Yang tak kalah menarik, di Punden Kulon Donowati juga terdapat pojok baca atau perpustakaan yang dapat dimanfaatkan oleh warga setempat.
Sementara itu, salah satu anggota Karang Taruna RW 1 “Bhakti Bhumi” Donowati, Layyin Fuadah mengatakan, usai tegal deso tahun ini, pihaknya bersama anak-anak muda kampung Donowati rutin berkumpul di punden.
“Waktu dulu belum tau sejarah punden seperti apa ya ngiranya punden tempat yang menakutkan, bahkan untuk lewat depan punden saja dulu takut. Tapi setelah tau bagaimana sejarahnya ya kalau kumpul akhirnya di sini,” ujarnya.
Menurutnya, melalui berbagai acara yang melibatkan generasi muda kampung, membuat dirinya dan pemuda lainnya bisa lebih tau lagi soal sejarah kampung Donowati dan masyarakat setempat pun menjadi lebih guyub rukun serta saling menjaga.